Malam itu angin berembus kencang, membawa serta tangisan bayi yang kian menggema memenuhi ruangan. Tangisan itu sesekali teredam oleh desing ombak di Utara, pun seruan binatang malam di antara rerimbunan hutan di Selatan. Mereka-mereka yang mendengarnya, lantas tak dapat menghentikan rengekan tiap malam menjelang subuh itu. Mereka hanya bisa menunggu hingga tangisan itu melirih digantikan tawa yang terdengar menyayat hati.
Seberkas cahaya mulai menyala, menerangi sebagian sudut sebuah gubuk kecil. Seorang gadis kecil dengan bayi di gendongannya melangkah keluar dari sana. Menjejakkan kaki untuk menjalani hari-hari yang membuat retak semangat hidup yang awalnya menggelora. Bagaimana tidak, gadis semuda itu harus rela mengorbankan masa mudanya demi menghidupi seorang adik semenjak kedua orang tuanya bercerai satu tahun yang lalu—hingga kini menghilang tanpa kabar bagai ditelan bumi.
Cerpen – Elegi di Pesisir Pantai by Diajeng Candra Sahputri
“Hari ini kita akan makan ubi jalar atau jagung rebus?” tanya Laura yang hanya disahuti oleh gumaman kecil dari bibir adiknya.
“Bagaimana kalau jagung saja? Masih banyak persediaan jagung di belakang. Sekitar … sebelas buah. Ya, lebih baik kita segera menghabiskan jagung itu sebelum mereka menguntitnya hingga tak bersisa.”
Laura berjalan menuju bagian belakang rumah. Sesekali dipandangnya rumah yang sudah tua dan reyot itu. Anyaman bambu dan beberapa batang kayu menjadi dinding penopang atap dari genting yang mulai keropos dimakan usia. Beberapa lubang turut menghiasi rumahnya, menampakkan cahaya temaram dari lampu minyak yang dipajang dekat tempat tidur dan pintu keluar. Membuatnya terlihat lebih pantas disebut gubuk.
Laura menghentikan langkah, tersenyum miris saat melihat karung jagung miliknya berlubang. Tentu saja sesuatu itu telah mencurinya, meninggalkan sembilan bonggol jagung dengan beberapa bekas gigitan. “Lihatlah, Dek. Bahkan untuk makan saja kita masih kesulitan. Lekaslah dewasa dan bantu kakakmu ini.”
Adiknya kembali menangis sesaat setelah Laura mengelus puncak kepalanya dengan air mata yang mengalir membasahi pipi. Entah karena lapar, kedinginan, atau turut merasa bersedih karena kakaknya yang telah menangis. Laura segera menepuk-nepuk halus punggung adiknya seraya menyenandungkan sebuah lagu, berharap adiknya dapat tenang kembali. Tak disangka, tangis bayi dalam gendongan itu semakin menjadi. Laura memejam menahan tangis ketika menyadari tubuh adiknya yang terasa panas.
Sudah dua hari ini adikku demam tinggi. Bahkan, kemarin malam ia tak mau makan apapun karena setiap kali makanan masuk ke dalam mulutnya selalu dimuntahkan. Aku takut sesuatu yang buruk akan terjadi, terlebih tak ada seorang pun dokter di sekitar sini. Satu-satunya jalan adalah membawanya ke pulau seberang, tapi bagaimana caranya? Tetanggaku tak ada yang mau berbaik hati mengantarkan adikku berobat, karena memang dari dulu keluargaku sudah dianggap tak ada.
“Pak, tolonglah saya untuk mengantarkan adik saya berobat. Sudah dua hari dia demam tinggi,” kataku pada seorang pria paruh baya yang kutemui di pantai, tengah menyiapkan jaring untuk pergi mencari ikan di laut.
“Maaf, tapi saya sedang sibuk.”
Selalu saja seperti itu. Sibuk tak ada waktu. Mereka semua tak peduli. Di mana rasa tenggang rasa dan persatuan yang selama ini mereka banggakan? Aku tak menyangka mereka setega itu padaku hanya karena aku adalah anak haram yang kini hidup tanpa sosok ayah dan ibu. Seharusnya mereka yang telah dewasa lebih mengerti, bukan malah ikut memojokkan dan mengacuhkanku.