Tik tok tik tok…
Jarum jam itu menunjukkan pukul 00.00 tepat. Lima orang perempuan tampak masih berkutat dengan kertas-kertas di hadapan mereka. Lalu, setelah melihat ke arah jam dinding, mereka meregangkan otot-otot tubuhnya sejenak. Seharian ini mereka sibuk membuat koreografi untuk acara tahunan penghargaan musik yang diadakan 3 bulan lagi.
“Elsa.” Panggil salah satu temannya, Hana.
Yang dipanggil pun menoleh. Lalu tersenyum mengerti. “Kalian, pulanglah terlebih dahulu, masih ada beberapa gerakan yang perlu aku tambahkan.”
“Tidak apa-apa?” Tanya Syanas.
Artikel yang sesuai:
Elsa hanya mengangguk.
“Lalu kau sendirian? Benar tidak apa-apa?” Tanya Zizi memastikan.
Elsa kembali mengangguk.
“Baiklah. Kami pulang dulu.” Pamit Tasya.
“Iya, hati-hati.”
“Oh iya Elsa, jangan terlalu diforsir. Kami tau, kau koreografer utama untuk acara ini, tapi jangan lupa perhatikan dirimu juga.” Kata Hana menasehati.
“Aku mengerti. Pulanglah.”
Sepeninggalan teman-temannya, Elsa pun mulai menghidupkan musik dari ponselnya. Musik klasik Für Elise dari Ludwig Van Beethoven pun memenuhi ruangan itu.
Tiba-tiba saja Elsa merasa udara di ruangan dance yang begitu besar dan lebar tersebut menjadi pengap dan lampu yang tadinya terang pun meredup. Dadanya mendadak sesak. Bau anyir tercium jelas sekali. Selanjutnya dia melihatnya sendiri, sosok itu berdiri tepat di depannya, kedua bola mata yang hilang dan hanya mengeluarkan darah, mulut dari sosok itupun tampak menganga. Rambut panjang menjuntai yang tampak kusut, dan melayang-layang mendekatinya.
Keringat dingin muncul di sekitar wajah, leher, lengan dan punggung Elsa. Mata Elsa terbelalak melihat sosok itu. Suaranya tercekat. Yang ada di otaknya hanya satu, ‘Matikan musiknya.’ Dengan tangan gemetar Elsa meraih ponselnya yang tergeletak beberapa jarak darinya. Namun, dia merasa ponsel itu jauh sekali. Sosok itu semakin dekat padanya. Rambut dari sosok itu pun juga mulai mengenai kakinya.
Hingga akhirnya, dia bisa menggapai ponselnya dengan susah payah lalu menonaktifkannya. Begitu musik klasik Für Elise sudah tak terdengar lagi, Elsa bisa menghela napas panjang dan lega karena sosok itu pun tiba-tiba menghilang dari hadapannya. Masih dengan napas yang terengah-engah, Elsa mengingat pembicaraan dari teman-temannya tadi.
“Hei, mau tau sesuatu tidak?” Tanya Tasya.
“Ada apa? Ada apa?” Tanya Hana tampak antusias.
“Penting tidak? Jika tidak penting, lebih baik jangan bicara.” Ini Elsa, tentu saja. Dirinya begitu fokus dengan coretan kertas di tangannya dan tak menghiraukan ucapan teman-temannya.
“Sangat penting!” Tandas Tasya.
“Palingan kau hanya mau menyebarkan gosip lagi.” Tuding Zizi.
“Aku dan Syanas mau dengar, ada apa?” Tanya Hana lagi.
“Aku? Tidak-”
“Sudah, dengarkan saja.” Sela Hana.
Syanas yang disebelahnya hanya diam. ‘Benar-benar, Hana ini suka semaunya sendiri.’ kata Syanas dalam hati.
“Di gedung ini, dan tepat di ruangan ini, jika kau mendengarkan musik klasik Für Elise milik Ludwig Van Beethoven sendirian, tepat jam dua belas malam, maka akan ada sosok yang muncul untuk menemanimu.”
“Kau percaya dengan hal-hal seperti itu?” Tanya Elsa, cepat.
“Memang kau tidak?” Semprot Tasya.
“Tentu saja tidak.” Jawab Elsa tegas.
“Menyebalkan.” Cibir Tasya.
“Sudah, biarkan saja. Sosoknya bagaimana?” Tanya Hana.
“Dua bola matanya tidak ada, jadi hanya mengeluarkan darah, mulut yang menganga dan rambut panjang yang menjuntai kusut.”
“Kau melihatnya sendiri?” Tanya Zizi sarkas.
“Kata beberapa orang yang melihatnya sih begitu.” Jawab Tasya santai.
“Berhenti mendengarkan gosip dan cerita yang tidak jelas Tasya. Kau sudah cukup dewasa untuk mengerti mana yang sungguhan dan mana yang tidak, bukan?” Seru Zizi.
“Ini bukan gosip. Ini fakta tau!” Bela Tasya.
“Aku tidak paham dengan jalan pikiranmu.” Tandas Zizi.
“Aku tidak memintamu untuk memahamiku.” Balas Tasya. “Buktikan saja sendiri jika tidak percaya.” Lanjut Tasya.
“Sudah-sudah, kalian ini tidak perlu bertengkar karena hal-hal seperti ini.” Lerai Hana.
“Lebih baik ayo kita selesaikan ini sebelum jam dua belas malam. Lalu segera pulang.” Sambung Syanas.
“Nanti, jika kalian sudah selesai silahkan pulang terlebih dahulu, aku masih harus mengeceknya sekali lagi. Ini pertama kalinya untukku, jadi aku tidak mau sampai…”
“Kami mengerti.” Koor keempat temannya.
Siapa yang menyangka bahwa Elsa akan termakan ucapan Tasya. Mendengarkan Für Elise milik Ludwig Van Beethoven sendirian di ruang dance yang baru dibangun itu dan mendapatkan mimpi buruknya.