Semua orang mengira aku sempurna. Berwajah cantik, mendapat nilai yang amat baik, menang di setiap hal yang aku geluti. Selalu saja berhasil mencuri perhatian. Setidaknya, itulah aku yang ada di hadapan mereka. Aku yang bahkan asing bagi diriku sendiri.
Cerpen – Bukan Dirimu Seutuhnya by Zaskia Zahwa Tsamara
Aku sebenarnya bingung dengan orang-orang yang mengidolakanku. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang berharap dapat menjadi seperti diriku. Bagaimana tidak? Mereka ingin menjadi orang yang bahkan tak menjadi dirinya sendiri. Orang yang paling aku benci.
Iya, aku tak sempurnya.
“Yuzuki, kamu hebat!”
“Luar biasa!”
“Keren!”
“Aku sangat berharap dapat menjadi seperti dirimu, Kak Yuki.”
Dan, masih banyak lagi.
Suara itu terus membanjiri pagi, siang, dan malamku. Saat aku baru saja memulai hari, beristirahat sejenak, hingga berusaha menenangkan diri di pertengahan gelap yang dingin.
Aku benar-benar terjebak dengan setiap pujian yang mereka beri. Segalanya membuatku harus melakukan lebih, lebih, dan lebih untuk membuat pujian itu terus mengarah padaku.
“Bagaimana dengan semua kompetisimu pekan depan?”
Tanpa aku sadari, seorang pria berusia tiga kali lipatku mendekat. Ia membawa dua buah cangkir yang salah satunya ia sodorkan padaku.
“Ayah?”
“Kau telah berusaha keras untuk segala bidang yang akan kau ikuti. Namun, Ayah rasa kau masih kekurangan sesuatu.” Pria itu berhenti sejenak. Meneguk teh dalam cangkirnya. “Jadi, Ayah memutuskan untuk menyewakan beberapa pelatih baru sebagai pembimbingmu.”
Sebenarnya, aku kecewa mendengar perkataan seorang monster dalam hidupku itu. Meski tuturnya lebih bahkan amat lembut dari biasanya, tapi tetap saja mengecewakan.
“Bagaimana?”
Tanpa menunggu aba-aba, kepalaku langsung melakukan tugasnya, mengangguk. Lantas, disusul dengan lesung di pipiku yang menampakkan dirinya saat aku tersenyum.
“Baiklah. Ayah rasa kau masih membutuhkan banyak waktu untuk mempersiapkan diri. Aku tak ingin mengganggu.”
Tak lama, terdengar satu dua langkah menjauh. Berhenti tepat di bawah ambang pintu. “Aku harap, kau selalu bisa memberikan yang terbaik, Nak.”
Tak ada yang berhasil mengusikku untuk melupakan sejenak perkataan barusan. Meski aku telah terlelap di antara rentetan buku yang tersusun di atas meja belajar, nyatanya aku malah makin dihantui oleh rasa takut. Takut dengan kenyataan bahwa aku tidak sempurna.