Cerpen – Berduka di Hari Bahagia by Andini Mayangpuri

Berduka di Hari Bahagia by Andini Mayangpuri

Aku memperhatikan pemandangan di luar jendela kereta. Pematang sawah yang biasa terlewati jalur kereta ini, sudah berganti menjadi kompleks perumahan minimalis. Beberapa ratus meter kemudian, biasanya kereta ini akan melewati pemukiman padat penduduk dengan gang sempit. Ketika sore hari, banyak anak kecil berlarian atau bermain layang-layang. Juga ibu-ibu yang sedang duduk santai sambil menyuapi bayinya.

Namun, kini pemandangan itu berganti jadi kawasan industri. Entah sejak kapan, tetapi semua perubahan ini tampak asing di netraku. Aku pun menyadari bahwa lima tahun adalah waktu yang cukup untuk mengubah segalanya. Sembari menatap pemandangan dari balik jendela ini, aku juga mulai mengenang masa-masa itu. Ketika semuanya terasa berwarna dan menggairahkan. Perlahan, memori tentang masa itu satu persatu mulai diputar dalam otakku, layaknya film hitam putih.

Saat itu, kami sedang kerja kelompok di kampus.

“Hahaha … kamu ada-ada aja. Nggak usah segitunya juga kali,” ucapnya sambil berusaha meredakan gelak tawa.

Aku hanya tersenyum polos, memamerkan barisan gigi putihku. Aku merasa sangat malu karena sekali lagi, aku tanpa sengaja menunjukkan kebodohan secara terang-terangan di hadapannya. Kali ini kami sedang berdiskusi mengenai pembuatan video tutorial tentang orientasi mobilitas untuk penyandang tunanetra.

Kelompok kami terdiri dari tiga orang, yaitu aku, Nancy, dan dia. Kami sepakat bahwa aku yang akan berperan sebagai tunanetra, Nancy sebagai pendamping awas, dan dia sebagai cameraman. Kemudian, syuting pun dimulai. adegan demi adegan telah kami lakukan. Di adegan ke sepuluh, aku ditemani Nancy harus menuruni tangga, sebagai bagian dari salah satu tutorial itu.

Tangan kiriku menggamit lengan Nancy, sedangkan tangan kananku memegangi pegangan tangga. Oh iya, ketika sedang menuruni tangga seperti ini, pendamping awas harus turun satu undakan terlebih dahulu, baru diikuti oleh tunanetra, supaya lebih aman. Meski begitu, ini tetap cukup menegangkan buatku.

Karena sungguh, ini lebih sulit daripada saat aku naik tangga tadi. Sambil merekam lewat kamera DSLR Nikon D3300 nya, dia memperingatkanku agar berhati-hati. Aku merasa ada kupu-kupu yang menggelitik perutku. Dan itu membuat fokusku teralihkan. Kakiku yang seharusnya menginjak anak tangga jadi kehilangan pijakan. Sedetik kemudian, aku dan Nancy terjatuh.

Aku dan Nancy mengaduh kesakitan. Namun, rasa sakit itu tak sebanding dengan perasaan malu dan bersalahku. Pertama, tentu saja malu karena, hei! Aku terjatuh di hadapannya dan ini adalah tangga depan fakultas. Tentu saja tadi itu jadi tontonan publik. Kedua, aku merasa bersalah karena selaku pendamping awas, Nancy jadi ikut terjatuh bersamaku.

Kemudian, dia menolong kami untuk berdiri. Mukanya tampak khawatir. Dia bertanya apakah kami baik-baik saja. Kami mengatakan tidak apa-apa. Tetapi beberapa saat kemudian, dia kembali bertanya, “Kalian yakin, baik-baik saja? Apakah ada yang memar?”

Ya, begitulah dia. Hatinya baik dan lembut. Mungkin ini juga yang membuatnya masuk jurusan Pendidikan Luar Biasa di kampus ini. Wajahnya juga tampan, berkarisma, cerdas, dan kadang bisa bertingkah lucu. Setelah syuting selesai, dia baru terpikirkan satu hal.

“Perasaan tadi aku sengaja kasih kamu penutup mata yang agak longgar, supaya kamu tetap bisa  melihat. Tetapi kalian tetap terjatuh. Sepertinya tadi sebaiknya aku saja yang memerankannya,” ucapnya dengan nada penyesalan.

“Kamu tidak salah, Dam. Dea nya saja yang terlalu mendalami peran,” jelas Nancy.

“Apa maksudmu?” tanyanya.

“Dia sangat totalitas. Walaupun kamu memberinya penutup mata longgar agar dia bisa mengintip, tetapi ia malah dengan sengaja memejamkan matanya ketika menuruni tangga tadi. Yah, kamu tau sendiri bagaimana akhirnya, haha …” jelas Nancy panjang lebar sambil tertawa.

Aku memelototinya. Jika saja berada tepat di sampingnya, aku pasti akan menyikutnya. Adam menatapku dengan heran, seolah-olah meminta penjelasan. Aku menggaruk leher yang tidak gatal dan terpaksa menganggukkan kepala. Karena toh, yang dibilang Nancy memang benar. Aku terlalu mendalami peran. Tapi aku hanya ingin merasakan apa yang teman-teman tunanetra rasakan saat menuruni tangga.

Supaya aku bisa lebih cermat jika harus bertugas jadi pendamping awas suatu hari nanti. Dan di atas segalanya, aku benar-benar serius karena ingin membuatnya sedikit terkesan. Namun sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Seperti yang kalian tahu, dia tertawa dengan cukup kencang mengetahui semua itu.

Kenangan itu akan aku simpan dengan baik di dalam memori. Aku tersenyum saat membayangkan bagaimana wajah tampannya tergelak, karena menertawakan kekonyolanku. Juga merasakan kembali sensasi tersipu saat dia memandangku dengan khawatir setelah aku terjatuh. Empat tahun yang kulewati di masa perkuliahan terasa amat singkat.

Karena waktu selama itu tetap tak bisa membuatku menjadi dekat dengannya. Selama empat tahun pula, aku menyimpan rasa padanya, tanpa ada seorangpun yang tahu. Bahkan sahabatku Nancy sekalipun. Aku bertahan dengan cinta dalam diam. Dalam kurun waktu empat tahun itu, sebenarnya momen keakraban kami masih bisa dihitung. Karena meski kami satu kelas, aku dan dia memiliki dunia yang berbeda.

Sifat dan karakter kami pun tidak cocok. Dia ekstrover, aku introver. Dia mahasiswa dengan segudang aktivitas di organisasi kampusnya, dan aku adalah seorang mahasiswi ‘kupu-kupu’, rutinitasku hanya kuliah-pulang, kuliah-pulang. Bukannya aku tidak berminat ikut organisasi. Hanya saja aku pejuang PP—mahasiswa yang pulang pergi, tidak sewa kos— dan rumahku cukup jauh, sehingga akan menyulitkan jika aku ikut organisasi.

Selain itu, dia memiliki circle pertemanan dengan orang-orang yang terkenal akan kecerdasannya, serta kalangan ekstrover yang mendominasi kelas, maupun angkatan. Sedangkan aku sebaliknya. Jadi, bisa dibayangkan betapa berbanding terbaliknya dunia kami.

Perbedaan-perbedaan itulah yang membuatku semakin teguh untuk menyimpan semua rasa ini sendirian. Karena aku terlalu malu untuk mengakuinya. Aku bukan perempuan tipenya dan aku memang tidak pantas untuknya. Perbedaan-perbedaan itu pulalah yang membuat momen keakraban antara aku dan dia sangat minim. Paling-paling kami mengobrol agak lama saat sedang kerja kelompok, salah satunya ketika kerja kelompok pembuatan video itu.

Ah iya, aku ingat kami juga pernah satu kelompok dalam mata kuliah statistika. Ketika itu, seorang anggota kelompok kami tidak masuk kelas. Aku sudah tegang memikirkan fakta bahwa kami kekurangan personil. Apalagi dosen statistika kami terkenal galak. Namun, aku melihat dia berusaha untuk bersikap tenang di hadapan kami. Dia tidak terlalu menunjukkan kekhawatirannya. Walaupun aku tahu, ia juga sebenarnya merasa cemas.

Ketika sesi tanya jawab, diantara tiga penanya, ada seorang mahasiswa yang bertanya mengenai materi bagianku. Aku berpikir keras, tetapi tidak mengetahui jawabannya. Keringat dingin mulai menjalari pelipisku yang tertutupi poni. Tinggal pertanyaan bagianku yang belum terjawab. Seolah mengerti, ia berbisik tepat di telingaku, “Biar aku saja yang menjawabnya.”

Aku mengangguk dan membisikkan ucapan terima kasih. Di satu sisi, aku merasa malu  karena tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Tetapi di sisi lain, ada perasaan hangat yang menjalari hatiku. Seandainya aku tidak perlu menyembunyikan perasaan ini, maka semua orang akan melihat senyum merekahku pagi itu.

Tak terasa, film nostalgia ini sudah setengah jam diputar dalam kepalaku. Dua menit lagi, kereta akan sampai di stasiun pemberhentianku. Lalu, aku bersiap-siap untuk turun dan menguatkan hati untuk menemui mereka.

***

Seperempat jam kemudian, aku sampai di sebuah ballroom hotel megah yang ada di kota kembang. Sebelum melangkah memasuki tempat dimana acara itu berlangsung, aku membelokkan kaki menuju toilet. Selama sepuluh menit aku duduk terdiam di kloset.

Pikiranku berkecamuk. Aku juga mati-matian menahan bulir bening yang berusaha menerobos pelupuk mataku saat ini. Beberapa kali aku menarik tisu toilet dan meremasnya. Berharap semua rasa perih di dadaku bisa sedikit berkurang. Sayup-sayup suara dari acara itu terdengar hingga sini.

Aku menarik tisu toilet sekali lagi. Kali ini untuk menghapus air mataku. Lalu, aku keluar dan menata rambutku di depan kaca. Sambil menyapukan bedak di wajah dan memoleskan lipstik warna mauve di bibirku. Aku menatap pantulan diri sekali lagi sambil menguatkan hati.

Setelah puas mengulur waktu di toilet, aku melangkahkan kaki menuju ruangan tempat resepsi pernikahan itu berlangsung. Aku baru memasuki ruangan dan langsung melihat kedua mempelai yang sedang duduk sambil bersenda gurau di pelaminan. Memang di jam ini tamu mulai sedikit berdatangan, sehingga kedua mempelai bisa sedikit bersantai.

Mata mereka memancarkan sinar kebahagiaan. Bibir mereka tak berhenti melengkungkan senyuman. Terutama sang mempelai perempuan yang tersipu malu saat sang pria menggodanya. Aku segera mengalihkan pandangan ke arah anak kecil yang merengek saat mengantre untuk mengambil es krim.

Bibirku bergetar menahan isakan, dan aku menggigitnya dengan keras. Oh Tuhan, aku tidak ingin menangis di sini. Ternyata aku tidak sekuat yang aku pikirkan. Aku tidak bisa menyaksikan pemandangan ini. Sekali lagi, aku melirik ke arah pelaminan. Dan sebelum mereka menyadari kehadiranku, aku mengambil langkah seribu untuk meninggalkan tempat ini.

Entah apa alasan yang akan aku berikan nanti ketika Nancy bertanya mengapa aku tidak hadir di hari bahagianya. Tapi untuk saat ini, aku tak peduli. Aku hanya ingin segera pergi dari sini. Hari ini, aku berduka di hari bahagia sahabatku sendiri.

Sebelum meninggalkan tempat itu, aku menatap sendu karangan bunga bertuliskan,

‘Selamat menempuh hidup baru, Adam, S.Pd. dan Nancy Andrea, S.Pd.’

WhatsApp
Facebook
Twitter
LinkedIn