Cerpen – Baru Merasakan Patah Hati by Namira Tentisa Aden

Cerpen - Baru Merasakan Patah Hati by Namira Tentisa Aden
“Kue! Kue! Kue! Ayo siapa yang mau beli kue! Kuenya dijamin enak loh!”

Teriakan remaja berusia 23 tahun bernama Afifah, menawarkan dagangannya ke semua orang dengan bantuan sepeda bewarna putih. Ia menggoes sepedanya menyusuri jalan raya.

“Gawat! Lima menit lagi gue bakal telat, gue harus cepet-cepet sampai kampus,” ucap Davin sambil mengendarai mobilnya yang berwarna silver.

Dret… Dret… Dret…

Ponsel Davin bergetar, ada telepon masuk dari kekasihnya. Langsung saja Davin mengambil ponsel yang ada di depannya. Namun, sayangnya ponselnya terjatuh dan Davin berusaha mengambil ponselnya dalam keadaan masih mengendarai mobilnya. Namun, saat ia berhasil mengambil ponselnya yang terjatuh, disaat yang bersamaan dia menabrak seorang gadis penjual kue.
Prak!

Cerpen – Baru Merasakan Patah Hati by Namira Tentisa Aden

“Aduh, pakek jatuh segala lagi. Mana ya hanponne ku,” ucap Davin sambil meraba daerah bawah kursinya.

”Nah, ini dapat juga akhirnya,” ucapnya sekali lagi.

”Eh…. Eh… Eh.. Eh, ini mobil gimana sih ngendarainnya. Kok oleng gini sih,” ucap Afifah saat mengendarai sepedanya.
”Eh, aaaaaa! Bruk!”

Terjadi tabrakan antara sepeda dengan mobil bewarna silver tersebut.

”Aduh,” pekik Afifah saat ia terjatuh di aspal. Telapak tangannya terluka karena terkena goresan aspal dan membuat telapak tangannya berdarah.

”Woy! Bisa nyetir mobil gak sih. Kalau gak bisa nyetir mending gak usah bawa mobil deh!” seru Afifah sambil menendang mobil bewarna silver tersebut.

Seorang pria muda yang mengendarai mobil tersebut membuka pintu mobil dan mengeluarkan satu kakinya ke luar dan lelaki itu pun akhirnya keluar dengan wajah kesal.

”Eh! Jangan nendang mobil gue dong! Nanti kalau baret lo mau tanggung jawab!” seru Davin sambil bersimpu dihadapan gadis yang ia tabrak dan mengusap mobilnya.

”Bodoamat! Habisnya situ yang nyetirnya gak bener.”

“Yang ada situ kali yang ngendarain sepedanya gak pakek mata. Lagian sepeda butut kayak gini masih aja dibawa.”

”He! Jaga ya mulut kamu. Ini tu sepeda sebagai mata pencaharian saya. Sombong banget sih jadi orang! Udah nabrak, gak mau minta maaf,” cetus Afifah sambil memegang tangannya yang terluka.

”Yaudah nih, saya kasih uang buat ganti rugi dan sebagai tanda permintaan maaf gue,” ujar Davino sambil memberikan beberapa lembar uang merah pada gadis itu.

”Gak! Saya gak butuh uang kamu. Yang saya butuhin cuma kata permintaan maaf yang keluar dari mulut kamu. Gak semuanya kamu bisa beli dengan uang ya!”

Afifah terlanjur kesal dengan sikap Davin. Ia menegakan sepedanya dan berusaha bangun. Afifah pun menuntun sepedanya menjauh dari Davin.

“Dasar cewek aneh! Dikasih uang malah pergi!” seru Davino dengan mengeluarkan jurus menedangnya.

”Yah, kuenya jadi hancur lebur gara-gara cowok tadi. Ihhhhh! Emang tu cowok resek banget ya. Udah jelas-jelas salah, tapi gak mau minta maaf. Boro-boro minta maaf, nolongin aja enggak,” gerutu Afifah sepanjang perjalanan ia menuju kerumahnya.

”Assalamualaikum,” ucap Afifah ketika sampai rumah.

“Wa’alaikum salam. Loh, kok udah balik. Emangnya kuenya udah laku?” tanya Cici—sahabat Afifah.

”Boro-boro laku, yang ada kita rugi,” balas Afifah singkat.

”Loh, koo bisa? Gimana ceritanya?”

“Tadi di jalan, ada mobil yang jalannya tu ugal-ugalan. Jadi, yaudah deh akhirnya aku ketabrak sama mobil itu. Nih, tangan aku aja sampai lecet dan berdarah gara-gara tu mobil,” ucap Afifah sambil menunjukan telapak tangannya yang terluka.

Tinggalkan Komentar