Suatu ketika saya mendengarkan salah seorang kawan tentang gaya hidupnya. “Aku ini cewek boros loh!” katanya saat itu. Saya hanya diam dan mendengarkan semua ceritanya. Kalimat-kalimat selanjutnya membuat saya terkejut, diketahui bahwa uang jajannya lebih dari satu juta setengah perbulan. Mirisnya, dia adalah mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi. Anda kuliah atau shopping sih?
Dari sepenggal cerita di atas menunjukkan bahwa alokasi dana bidikmisi masih jauh dari target utama, dimana mahasiswa kurang mampu secara finansial yang seharusnya lebih layak mendapatkanya. Bukan hanya itu saja, banyak teman saya yang “kurang layak” mendapatkan beasiswa bidikmisi. Secara finansial mereka sehat-sehat saja, bahkan mampu membeli sebuah mobil dan motor pribadi. Lantas buat apa sebenarnya dana bidikmisi? Untuk menambah uang jajan atau keperluan kuliah?
Andai dibandingkan dengan kehidupan saya yang mahasiswa pas-pasan tanpa mengandalkan beasiswa apapun, 400 ribu setiap bulan saja sudah lebih dari cukup. Buat makan dan nongkrong bahkan masih sisa beberapa puluh ribu. Kebanyakan kawan saya mengantongi uang jajan lebih dari 600 ribu perbulan. Dan banyak dari mereka yang menerima beasiswa bidikmisi. Lalu, apakah ada pergeseran pengertian miskin disini? Bukankah tujuan awal adanya beasiswa bidikmisi adalah untuk membiayai mahasiswa yang kurang mampu secara finansial? Bukan kurang secara uang jajan.
Ironisnya, dorongan untuk mendapatkan beasiswa bidikmisi juga dipengaruhi oleh sekolah. Hampir setiap sekolah menganjurkan siswaya untuk mengajukan beasiswa bidikmisi, apapun status sosial mereka. Entah anak TNI, polisi, PNS atau pengawai swasta dianjurkan mendaftarkan bidikmisi. Karena apa? Menurut guru BK saya saat masih SMA, sekolah mendapatkan dana setiap ada siswanya yang diterima beasiswa bidikmisi.
Terlepas dari itu, bukan berarti sekolah bertanggung jawab penuh terhadap alokasi dana bidikmisi yang kurang tepat sasaran. Yang patut dipertanyakan adalah kinerja reviewer dari masing-masing kampus. Setiap calon penerima bantuan bidikmisi memang wajib direview ke rumahnya, memastikan keadaan memang benar-benar tidak mampu. Tahun 2017, saya mendapatkan beasiswa bidikmisi di salah satu kampus negeri di Surabaya. Saat itu saya di survey dan diajukan beberapa pertanyaan. Memang, menurut saya reviewer sangat bertanggung jawab terhadap layak tidaknya mahasiswa menerima beasiswa bidikmisi.
Anehnya, kok bisa mahasiswa yang berdompet tebal, berias, dan berbaju anggun lolos begitu saja. Apakah ada SOP yang salah disini. Memang perlu dipertanyakan. Apalagi setiap kampus berbeda cara mereka mereview. Saat saya masih kuliah di Surabaya, reviewer datang beberapa orang membawa mobil dan harus orang asing atau belum kenal sama sekali dengan calon penerima beasiswa bidikmisi. Di kampus lain, justru hanya memperkerjakan satu orang untuk mereview, parahnya, banyak dari mereka yang sudah kenal dengan calon penerima beasiswa bidikmisi.
Yang salah dalam kasus ini bukan pemerintah, tapi pihak kampus dan penerima beasisawa bidikmisi yang kurang tepat sasaran itu sendiri. Kampus selaku institusi yang bertanggung jawab atas penerimaan seharusnya menyaring lebih ketat bagaimana prosedur penerimaan yang sesuai dengan tujuan awal, yaitu mahasiswa yang kurang mampu secara finansial bukan mahasiswa yang kurang uang jajan.
Dilain sisi, mahasiswa yang merasa dirinya mampu kiranya sadar diri dan tidak memaksakan untuk menikmati bantuan yang bukan diperuntukan untuknya. Masih banyak mahasiswa di luar sana yang lebih membutuhkan. Banyak kasus mahasiswa harus rela keluar dan tidak melanjutkan kuliah disebabkan oleh finansial keluarga yang kurang mumpuni. Padahal, secara kepintaran mereka tak kalah jago dengan mahasiswa lain. Yang menjadi pembeda hanyalah mereka tidak mendapatkan beasiswa bidikmisi.
Ada yang menyangkal seperti ini “di kampus kan buanyak beasiswa, kenapa gak cari yang lain aja?” kalau tanya dilihat substansinya dong. Begini, beasiswa bidikmisi adalah khusus diperuntukan untuk mahasiswa yang kurang mampu secara finansial, jadi, sudah menjadi tanggung jawab pemerintah dan pihak kampus untuk hal itu. Bukan mereka yang harus mencari, tapi pemerintah dan pihak kampus yang harus mendatangi. Bukankah yang membutuhkan SDM berkualitas adalah negara? Jika masalah finansial menghambat kualitas SDM yang disalahkan siapa kalau tidak pemerintah?
Saya rasa, meskipun sudah saya ulas panjang lebar, mereka yang tidak layak mendapatkan beasiswa bidikmisi akan cuek saja. Karena mereka sudah tidak peduli dengan kehidupan sosial selain gerombolan mereka. Hidupku adalah hidupku, hidupmu adalah hidupmu. Begitulah kata mahasiswa sekarang. Rasa empati terhadap sesama semakin memudar karena pergaulan.
Bersliweran memakai pakaian dan motor baru menjadi lifestyle anak bidikmisi, saya sudah tak heran. Memang dasarnya mereka kaya namun masih haus akan uang jajan, haus gaya hidup dan ingin lebih dihargai sesamanya.
Tahun ini, pemerintah sudah memutuskan untuk meningkatkan penerima beasiswa bidikmisi sebesar hampir 50%. Tahun 2018 penerima beasiswa bidikmisi hanya 80.000 tahun ini meningkat menjadi 130.000. Mungkin dengan cara inilah mahasiswa yang benar-benar membutuhkan bantuan finansial dapat tersalurkan. Bukan hanya untuk gaya hidup, tapi untuk kehidupan kampus 4 tahun mendatang. Sehingga kualitas SDM kita dapat terangkat dan menjadi lebih baik lagi.
Jangan lagi ada mahasiswa kaya yang memiliki kemampuan finansial diatas rata-rata lolos begitu saja, sistem survey yang selama ini digunakan harus benar-benar dibenahi secara keseluruhan. Karena akan sangat merugikan, bukan hanya untuk mahasiswa yang kurang mampu, tapi lebih kepada negara sebagai donatur dalam alokasi pendanaan beasiswa bidikmisi. Apakah rakyat Indonesia rela membuang uang pajaknya hanya untuk membiayai mahasiswa yang kurang uang jajan? Saya harap sedikit ulasan ini membuka mata kita bahwa setiap beasiswa ada alokasi dan tujuannya masing-masing. Jangan hanya karena uang kita rela membiarkan saudara kita tidak kuliah karena masalah finansial.